Senin, 01 Juni 2009

Ambigu - Multi Tafsir


Untuk menjelaskan sesuatu terkadang terasa sulit. Kalaupun bahwa kita sudah menjelaskan dengan sejelas-jelasnya tetapi jangan heran kalau hasilnya jauh dari perkiraan dan harapan kita. Pernah terjadi waktu saya menjelaskan sesuatu ternyata apa yang ditangkap orang itu benar-benar diluar perkiraan kita. Maksud hati ingin mendamaikan apa daya malah kena getahnya. Ya...dituduh bersekongkol-lah, ngebelain-lah, ga mau mengerti-lah, dan seterusnya. Salah benar rupanya menjadi hal yang rumit juga untuk dijelaskan. Salah menurut kita belum tentu menurut orang lain. Makanya dalam pasal-pasal hukum adalah sangat berbahaya kalau ketetapannya dianggap memuat yang multi tafsir. Atau sangat umum seperti karet yang bisa ditarik ulur. Mungkin ini yang menjadi tantangan untuk para wakil rakyat kita di DPR dalam memproduksi Undang-undang atau pernyataan-pernyataan yang ditujukan ke publik. Masyarakat yang memiliki ragam tingkat fikiran (pemahaman) dan pengetahuan ataupun pendidikannya tentu akan memiliki pemahaman sendiri-sendiri. Jadi kalau salah tangkap kewajiban yang mengeluarkan informasi itu yang mesti meluruskannya. Dan kita sebagai penerima info pun jangan asal telan sebelum cek n recek. Dibawah ini saya sangat kagum akan kreasi dan inovasi para seniman yang memang disengaja untuk membuat multitafsir atau banyak pandang (ambigu). Entah kalau para politisi menebarkan isue-isue apakah dalam rangka membangun opini publik agar multi tafsir atau tidak ya?


Di bawah ini ada artikel dan koleksi gambar-gambar yang sangat membuat saya terkesan.
“AMBIGU”
by Henry Parulian (17001030)

Dalam hidupnya, seorang individu memiliki kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan akan makanan, minum, dan tempat tinggal. Dan untuk memenuhi kebutuhannya individu ini harus berhubungan dengan individu lainnya (hakikat manusia sebagai makhluk sosial), karena itulah seorang individu dituntut untuk bisa menjaga hubungan dengan individu lainnya. Dalam menjaga hubungan ini maka ada kesepakatan-kesepakatan yang dibangun berdasarkan niat baik dan kehendak universal manusia, kesepakatan ini berupa sebuah konsep mengenai salah dan benar, bagus dan buruk, baik dan jahat ( good and evil dalam terminologi barat ).
Bagaimana kita mengenal salah-benar? Konsep mengenai salah benar pertama kali diperkenalkan dalam lingkungan keluarga dimana orang tua mengarahkan anak-anaknya untuk menjadi anak yang “baik”, anak yang “baik” disini adalah anak yang dikatakan bermoral dan sadar akan etika. Untuk mendidik seorang anak agar “baik”, orang tua membuat peraturan-peraturan sebagai ruang sekaligus batasan-batasan yang harus dipatuhi.
Sementara dalam kehidupan bermasyarakat (sosial), konsep salah-benar ini mudah dilihat dalam bentuk aturan-aturan yang disebut hukum. Baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis (hukum adat), keberadaan hukum dalam suatu masyarakat, menjadi kontrol agar tidak terjadi benturan kepentingan dalam masyarakat tersebut.
Kemajuan zaman ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, sosial dan budaya, kemajuan ini merubah pola kehidupan dan pola pemikiran manusia. Dengan majunya pola kehidupan, konsep salah dan benar ini berubah pula, dalam artian pandangan tentang salah-benar ini akan disesuaikan dengan kondisi.
Kondisi yang bagaimana? Kondisi yang disebutkan penulis sebagai situasi dimana setiap orang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dan hasrat-hasratnya (uang, makanan, hiburan dan lain sebagainya), mendahulukan ego dan mengesampingkan kepentingan bahkan keselamatan orang lain. Seperti pengamatan penulis pada fungsi trotoar yang kebanyakan diisi oleh kios-kios atau dijadikan tempat parkir, sehingga pejalan kaki harus berjalan diatas aspal.
Dalam hal ini penulis tidak bisa menyalahkan mereka yang mendirikan kios-kios maupun yang menjadikan trotoar ini sebagai lahan parkir, mengapa? Jika kita bertanya mengapa mereka mendirikan kios diatas trotoar, maka tuntutan ekonomi menjadi yang paling dipersalahkan dan mereka membenarkan diri dengan memperlihatkan restribusi sebagai bukti bahwa yang mereka lakukan itu benar atau legal. Disadari atau tidak mereka telah merampas hak pejalan kaki, bahkan memposisikan para pejalan kaki itu justru ditempat yang berbahaya. Dua kemungkinan yang bisa terjadi bahkan telah penulis alami, yaitu :
• Kerugian fisik : tertabrak kendaraan bermotor yang mengakibatkan mengakibatkan luka fisik
• Kerugian psikologis : berupa cacian dan hardikan bernada kasar
Contoh diatas menjadi kesimpulan bagi penulis bahwa saat ini, salah-benar ini telah diabaikan, ia tidak lagi berdiri atas kesepakatan bersama, salah benar menjadi begitu kompleks karena ia dibangun atas persepsi masing-masing orang.
Berangkat dari pengalaman dan pengamatan ini, penulis mengangkat tema mengasingkan diri, yaitu menarik diri dari kehidupan sosial karena perasaan terancam oleh realitas yang ada. Boleh dikatakan semacam paranoid atau perasaan takut dicelakai, resah, pesimis, dan ketidak percayaan, karena nilai-nilai moral yang dikenal sebelumnya telah menjadi “asing” dan tidak mampu lagi difahami.
Pada karya drawing dan lithografi ini, ditampilkan self portrait yang mewakili permasalahan personal terhadap realitas yang ada. Pose dan obyek-obyek yang ditampilkan menunjukkan ke-ambigu-an, paranoid, kecurigaan, rasa muak, ketidak percayaan, ketakutan, dan keraguan dalam menganalisa nilai salah benar. Sementara hadirnya dua area hitam dan putih menjadi background, sekaligus merepresentasikan nilai benar(putih) dan salah(hitam).

Gambar-gambar :































Tidak ada komentar: